Beberapa waktu lalu ramai diberitakan di media cetak maupun
elektronik tentang tindakan polisi syariah di Kota Banda Aceh yang
menangkap 65 pemuda yang hadir di sebuah konser amal punk-rock di Taman Budaya Banda Aceh.
Polisi syariah menahan mereka dengan alasan sikap dan penampilan mereka–seperti gaya rambut mohawk
dan bertindik di beberapa bagian wajah–dianggap sebagai sebuah ancaman
terhadap nilai-nilai ideologi bangsa dan tak selaras dengan nilai-nilai
agama.
Dengan dalih pembinaan, para punkers berambut mohawk
tersebut dicukur paksa, aksesori pada tindik mereka dicopot. Mereka
juga harus menjalani pelatihan ala militer, direndam di kubangan air,
dijemur di bawah terik matahari.
Persoalannya kemudian adakah yang salah dengan punk lewat musik, penampilan dan gaya hidup mereka?
Ahmad Fikri Hadi (2008) dan Ronald Byrnside (1975) menjelaskan punk sebagai sebuah aliran musik lahir di Inggris pada 1970-an.
Ini dimotori oleh grup band Sex Pistol asal Inggris yang dalam setiap
kali konser selalu didatangi anak-anak muda berpenampilan eksentrik.
Lewat lagunya yang berjudul Anarchy in UK, Sex Pistol
bersuara lantang mengkritik peningkatan jumlah pengangguran di pinggiran
kota-kota Inggris (terutama generasi muda), serta keterpurukan ekonomi
Inggris sekitar 1976-1977.
Tidak jelas memang dari mana asal kata ”punk” itu muncul. Tapi secara garis besar kelompok punk
senantiasa meluapkan kemarahan-kemarahan yang diwujudkan lewat musik
dengan tema berisi lirik-lirik resistensial terhadap kemapanan dan
penguasa, serta protes atas situasi sosial politik yang dianggapnya
melenceng seperti korupsi, kolusi, nepotisme, perusakan lingkungan,
diskriminasi dan kekerasan.
Tak hanya dalam konteks bermusik, kelompok punk biasanya menandai diri mereka lewat penampilan yang unik seperti rambut mohawk ala suku Indian, atau dipotong ala feathercut dan dicat dengan warna-warna yang terang, sepatu bot, rantai dan spike, jaket kulit, celana jeans ketat dan baju yang lusuh. Semua menunjukkan jati diri antikemapanan.
Mereka berpegang pada pedoman hidup do it your self. Segala
sesuatu dapat dilakukan dengan mandiri tanpa campur tangan pihak lain.
Hal itu terlihat dalam usaha menyebar dan merekam musiknya secara indie,
konser musiknya pun terbatas dengan didanai dan diselenggarakan secara
mandiri.
Dylan Clark lewat tulisannya The Death and Life of Punk, The Last Subculture (2003) memandang bahwa sebenarnya musik punk adalah aliran bunyi yang paling jujur dalam menyuarakan ketertindasan diri.
Oleh karena itu tak jarang kelompok musik punk dianggap sebagai virus
yang mengganggu stabilitas suatu negara lewat kerasnya lirik lagu yang
mereka bawakan, sebut saja misalnya grup Ramones, The Clash, Buzzcocks,
Sex Pistol, Joy Division, The Fall dan Dead Kennedys.
Punk menjadi katalisator ideal dalam meluapkan akumulasi
kepahitan hidup di saat media dan musik lainnya ”mati rasa” serta
bersolek begitu glamor dengan hanya memburu pamrih semata.
Punk memberi teladan berharga, yang terkadang suara liriknya
lebih pedas dan mampu didengar oleh sang otoritas (negara) dari pada
suara sumbang demonstrasi ribuan rakyat.
Ibarat ibadah
Berjuang lewat punk, ibarat ibadah dalam agama. Punk menjadi aliran musik yang paling lantang dan ”keras”. Kaum praktisi dan penggemar musik underground lainnya menganggap punk sebagai ideologi berhaluan kiri.
Punk menjadi medium kritik yang mahal dalam melawan kuatnya
spirit musik pop saat itu (bahkan hingga kini) yang hanya mengandalkan
kekuatan lirik romantis, asmara dan cinta-cintaan semata.
Punk tak ubahnya lagu Iwan Fals, John Lennon dan Bob Marley yang penuh kritikan. Sepaham walau tak sebadan. Punk merupakan contoh ideal dalam perjuangan lewat musik yang kini sangat jarang kita jumpai di Indonesia.
Oleh karena itu dengan melihat ”kerasnya” punk di antara ingar-bingar musik-musik yang ”glamor” saat ini, tak heran jika punk
ala Indonesia justru tereduksi sebagai kaum militan, preman, ditakuti
dan dianggap meresahkan stabilitas masyarakat sehingga oleh sang
penguasa (atas nama agama) keberadaannya harus dimusnahkan.
Mencekal pelaku musik punk berarti juga tidak menghendaki
lahirnya punk sebagai musik. Padahal sebagai sebuah hasil olah kreatif,
musik punk telah melalui sinergi yang pekat dengan zamannya hingga
membentuk karakter dan kharisma yang khas.
Musik punk seharusnya mampu menjadi simbol dan contoh panutan
pergerakan musik (kritik) mutakhir. Namun, tak jarang kita jumpai
segerombolan pemuda yang berpenampilan atas nama ”punk” bertindak anarkistis ala preman, brutal, meresahkan.
Hal inilah yang sering menjadi tanda tanya kita akan anak punk. Dandanan (penampilan) mereka yang nyeleneh kadang mengaburkan idealisme seni dan kenyataan hidup.
Terlebih kemudian diperparah dengan keberadaan punk di
Indonesia yang masih belum mampu menunjukkan taji sebagai musik kritik
yang tajam, sehingga otomatis masyarakat memusatkan perhatian hanya pada
aspek penampilan dengan penuh kecurigaan dan keresahan. Mereka tak
pernah berjumpa dengan indahnya tema bunyi yang mereka ciptakan.
Itulah yang mendasari perlakuan polisi syariah di Aceh menangkap kelompok pemuda atas nama ”punk”. Hanya karena rambut mereka yang mohawk,
anting dan baju yang kusut, seperti preman, kemudian tanpa tindakan dan
prosedur hukum yang jelas harus dieksekusi secara sepihak.
Hal ini mengingatkan kita pada masa rezim Orde baru ketika para
penembak misterius membunuh orang hanya karena orang tersebut bertato
dan gondrong, tanpa ada proses hukum.
Atau militer di tahun 1960-an yang menciduk dan membantai sebagian
orang karena disangka anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) tanpa
pernah ada pembuktian dan pengadilan. Pertanyaannya kemudian, apakah
kelompok punk sudah diadili dan disidangkan terlebih dahulu? Apakah
kadar kesalahan mereka telah ditentukan? Pasal apa yang mereka langgar?
Wakil Walikota Aceh Illiza Sa’aduddin Djamal sebagaimana dilansir kompas.com (14/12/2011) menolak keberadaan komunitas punk karena meresahkan masyarakat dan dikhawatirkan memengaruhi generasi muda di daerah itu.
Apabila logika tersebut yang dipakai, terkesan berlebihan jika hanya
karena ”prasangka” masyarakat yang merasa resah dengan penampilan mereka
kemudian menjadi dasar untuk menangkap, menahan, menggunduli, merendam
di air kotor, menjemur dan mendidik ala tentara.
Apabila logika itu dibenarkan, kita dapat mengajukan asumsi akan
keresahan kita ketika melihat kelompok mengatasnamakan Islam di
sekeliling kita yang berjubah, berjenggot panjang dan bercelana
cingkrang.
Lalu kita melapor kepada polisi dan menuntut agar jenggot mereka
dipangkas habis, karena penampilan mereka yang demikian telah begitu
meresahkan. Hal itu tentu saja tidak dapat dilakukan. Menghukum
berdasarkan prasangka jelas tidak dibenarkan. Harus dibuktikan dulu
kebenaran prasangka itu.
Kita tak boleh menghukumi Islam sebagai keras, meresahkan, hanya
berdasar prasangka teroris-teroris itu orang Islam. Orang Asia tak dapat
dilecehkan hanya karena prasangka beda ras dan kualitas orang Eropa.
Orang hitam tak boleh direndahkan hanya karena prasangka warna kulitnya.
Dengan demikian, anak-anak punk tak boleh diperlakukan dengan semena-mena atas prasangka kepremanan mereka, kendati prasangka itu atas latar belakang agama.
Sejarah, perkembangan dan dedikasi positif punk seharusnya
dapat digunakan sebagai acuan, pijakan dan referensi dalam melakukan
pembinaan yang ideal tanpa harus dengan kekerasan, apalagi bila
kekerasan itu atas nama agama.
Total Tayangan Halaman
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar