Total Tayangan Halaman

UNIVERSITAS GUNADARMA

studensite gunadarma

Minggu, 25 Maret 2012

TOPIK PI

Untuk tugas PI tahun ini , saya ingin membuat sebuah aplikasi jalur kereta jakarta - bogor berbasis VB.net. aplikasi ini berguna untuk kalangan para tuna netra yang menggunakan jalur kereta jakarta-bogor. sekarang bisa dilihat , disetiap stasiun memberikan informasi melalui audio, melalui tidak pernah ada. jadi menurut saya para tuna netra yang ingin menggunakan jasa kereta, sedikit kesusahan jika ingin berpergian menggunakan jasa tersebut. jika aplikasi telah jadi, aplikasi ini akan dipasang disetiap stasiun. tetapi cuma stasiun jakarta - bogor. aplikasi ini berbasis VB.net yang digabungkan melalui macromedia flash player. jadi aplikasi ini bisa menunjukka stasiun-stasiun yang ada pada jalur jakarta-bogor.
semoga bisa bermanfaat sebagaimana mestinya fungsi dari aplikasi tersebut.

DAMPAK - DAMPAK KENAIKAN BBM

Kenaikan BBM sebentar lagi akan ditetapkan pemerintah pada bulan April tahun 2012 ini, meskipun belum terjadi namun dampaknya sudah mulai terasa pada kehidupan sehari-hari.

Bagi masyarakat kelas menengah keatas, mungkin belum begitu terasa secara nyata. Karena secara ekonomi mereka masih memiliki simpanan yang cukup dalam melanjutkan hidup. Bagi masyarakat menengah kebawah hal ini akan terasa sekali dalam kehidupan sehari-hari.

Bila jadi, rencana kenaikan BBM bensin sebesar seribu lima ratus Rupiah, sehingga harga awalnya dari empat ribu lima ratus Rupiah menjadi enam ribu Rupiah memberikan nilai kenaikan sebesar 25 persen, yang bisa memberikan dampak kenaikan biaya operasional sehari-hari.

Kenapa pemerintah bersikeras menaikkan harga BBM ketimbang menyelenggarakan konversi BBM menuju BBG atau bahan bakar gas, yang berlaku bagi pemilik mobil yang notabene mewakili masyarakat kelas menengah keatas?

Hal ini dikarenakan secara infrastruktur, pemerintah belum siap untuk menyediakan alat konversi BBG. Selain itu, tidak mungkin pemerintah memberikan peraturan yang bersifat memaksa secara mendadak, hanya dalam waktu tiga bulan sebelum masa berlakunya. Di negara manapun, pengenalan akan suatu produk perundangan membutuhkan waktu antara enam bulan sampai dengan 3 atau lima tahun. Hal ini dimaksudkan agar warga terkait bisa memahami dan menyadari maksud dari peraturan pemerintah, sekaligus juga agar keputusan bisa berjalan dengan wajar tanpa mengalami gejolak yang berarti.

Kenaikan BBM ini akan memberikan dampak yang nyata secara multi sektoral dan bukannya tidak mungkin akan mengarah pada gejolak multi dimensi. Kita akan membahas seberapa besar pengaruh kenaikan BBM dari beberapa faktor berikut ini.

Dampak Ekonomi

Di bidang ekonomi, kenaikan BBM secara pasti akan menaikkan biaya operasional sehari-hari. Pengaruh yang sangat terasa adalah kenaikan biaya transportasi jalan raya, yang akan diikuti dengan kenaikan biaya listrik dan air, kenaikan tarif tol. Dan pada gilirannya akan berdampak pada kenaikan sembako (sembilan bahan pokok).

Bilamana kenaikan ini tidak diserta dengan kenaikan pendapatan, maka akan menambah jumlah penduduk miskin di Indonesia. Bilamana seorang kepala keluarga dengan dua orang anak setingkat SD/SMP, memiliki penghasilan per bulan satu juta lima ratus ribu. Maka kenaikan biaya hidup sebesar 15 sampai dengan 25 persen per bulan pasti akan menambah jumlah hutang mereka. Dengan asumsi kebutuhan per bulan sebesar 1,6 juta, akan menambah jumlah hutang sebesar 200 sampai dengan 300 ribu sebulan. Belum lagi bila ditambahkan dengan kenaikan biaya pendidikan, maka akan kita lihat lebih banyak lagi warga miskin di negeri ini.

Di bidang industri akan menambah biaya transportasi bahan baku dan pada distibusi barang jadi kepada masyarakat luas di satu sisi. Di sisi lain, tingkat daya beli masyarakat akan mengalami penurunan. Sehingga bisa terjadi penumpukan barang-barang produksi. Bilamana hal ini tidak terjadi perbaikan, di masa mendatang akan meningkatkan biaya operasional (overheat production), sehingga akan terjadi pengurangan jumlah buruh dan menaikkan jumlah pengangguran di Indonesia.

Dampak Sosial

Dilihat dari sisi sosial, pengaruh dari kenaikan BBM akan memberikan dampak pemiskinan yang semakin tinggi. Hal ini dikarenakan semakin tingginya biaya hidup, terutama bagi mereka yang tinggal di perkotaan.

Hal ini akan menjadikan mereka yang selama ini hidup pas-pasan menjadi miskin karena tidak mampu mengikuti kenaikan biaya hidup. Pada skala besar akan menjadi fenomena pemiskinan secara sistematis dan berkelanjutan.

Jangan kaget, bilamana nanti kita akan melihat di sekitar kita, semakin banyak pengemis di jalanan, para pemulung sekitar tempat tinggal dan semakin maraknya pelacuran serta semakin banyak dijumpai kejadian kriminal di negeri ini.

Bagi mereka yang berada dan dekat dengan lingkaran kekuasaan, hal ini akan membuat mereka menaikkan pungutan liar dan nilai uang yang dikorupsi, dengan alasan untuk “menutup” kenaikan BBM.

Dampak Politik

Secara politis, dengan terjadinya kenaikan BBM akan mengakibatkan semakin tingginya biaya politik yang harus dibayar dan semakin maraknya penyelewengan penyelenggaraan kekuasaan yang terjadi di negeri ini.

Adalah merupakan rahasia umum, pemberian sejumlah “biaya siluman” dalam menggolkan suatu peraturan. Dana ini tentunya tidak tertulis dalam lembaran administrasi negara. Namun berlangsung secara “wajar” dalam penyelenggaraan administrasi kenegaraan.

Dengan adanya permintaan kenaikan BBM tentunya jumlah yang diminta juga akan semakin besar, dengan alasan agar tidak terjadi gejolak yang meningkat di masyarakat dan juga untuk “menenteramkan” anggota partai dan para simpatisan.

Di satu sisi, besarnya biaya siluman ini akan berdampak pada pengurangan anggaran di sektor lain, biasanya anggaran yang menyangkut kesejahteraan masyarakat, yang dianggap “tidak penting”. Sehingga kemungkinan jumlah masyarakat yang terlayani dalam bidang kesejahteraan akan semakin jauh berkurang.

Bilamana hal ini terjadi, maka pengurangan biaya kesejahteraan seperti, pelayanan kesehatan dan fasilitas infrastruktur. Hal akan menjadikan masyarakat kelas bawah yang mengharapkan bantuan menjadi semakin terpuruk.

Kompensasi dampak kenaikan BBM seperti bantuan langsung tunai (BLT) pun tidak akan bisa memberi dampak yang nyata bagi masyarakat. Selain karena tidak tepat sasaran juga banyak potongan di dalamnya.

Bilamana kondisi semacam ini berlangsung terus, bisa menimbulkan berbagai keresahan yang berujung pada gejolak sosial dan politik di masyarakat.

Seperti kita baca di berbagai media, saat ini masyarakat kita dalam kondisi temperamen. Sehingga bila ada masalah sedikit saja yang melibatkan aparat dan masyarakat bisa berakibat kerusuhan massa.

Di sisi lain, juga akan menjadikan suatu alasan kuat bagi para “lawan politik” partai yang berkuasa untuk mendiskreditkan pemerintah, dengan salah satu alasan “tidak melindungi” kepentingan masyarakat bawah dan kurang bijak dalam kondisi sulit untuk menaikkan harga BBM.

Hal ini juga ditunjang dengan masalah carut marut dalam pemerintahan, termasuk penanganan korupsi yang tidak jelas ujung pangkalnya dan kapan berakhirnya.

Berbagai alasan tersebut di atas bisa menjadi salah satu senjata dalam mendiskreditkan pemerintah dan partai yang berkuasa saat ini. Dalam periode selanjutnya bisa menjadi sarana untuk melakukan empeachment terhadap presiden.

Bilamana pemerintah tidak mewaspadai dampak multi dimensi yang akan terjadi, maka nasib negeri ini sebagai negara yang gagal (fail state) hanya menunggu waktu saja. Dan kita juga hanya bisa berharap dan berdoa bagi keselamatan kita masing-masing.

PEMBANGUNAN SISTEM INFORMASI DIDALAM PEMERINTAH

Walaupun sudah lebih 20 tahun Sistem Informasi dikenal di Indonesia, implementasi di kantor pemerintah (baik pusat maupun daerah) relatif masih rendah dibandingkan dengan sektor swasta.
Hal tersebut disebabkan selain karena adanya hambatan di dalam birokrasi, yaitu mulai dari UU, kebijakan pusat dan daerah, sampai pada organisasi dan tata kerja yang tidak mudah untuk diubah atau disempurnakan, juga karena keterbatasan yang dimiliki pada kantor pemerintah mendorong implementasi sistem informasi sesuai dengan batasan yang ada.

Berbeda dengan kondisi di kantor pemerintah, implementasi sistem informasi di sektor swasta tidak memiliki hambatan yang berarti, sehingga lebih mudah melakukan penyesuaian di dalam pemanfaatan sistem informasi. Bagi sektor swasta, sistem informasi serta business process reengineering dimanfaatkan untuk mencari solusi yang optimal di dalam meningkatkan efisiensi dan kualitas kerja.
Berdasarkan pengalaman dan pengamatan selama ini, masih rendahnya implementasi sistem informasi pada kantor pemerintah disebabkan antara lain karena:
  1. belum adanya satuan kerja di suatu kantor pemerintah yang secara struktural bertanggungjawab di dalam pembangunan dan pengembangan sistem informasi ;
  2. keterbatasan di dalam penguasaan sistem informasi diatasi dengan suatu solusi yang ‘IT oriented’ sehingga berakibat berkembangnya pulau-pulau sistem informasi;
  3. rancangan sistem informasi berkembang secara parsial sesuai dengan kebutuhan masing-masing entitas kantor pemerintahan (satuan kerja), sehingga sulit untuk di-integrasikan;
  4. sistem informasi dilaksanakan secara mandiri di masing-masing satuan kerja tanpa adanya koordinasi sistem informasi antar satuan kerja, termasuk membangun informasi yang bukan menjadi tanggung jawab satuan kerja pembangun sistem;
  5. data dan informasi yang dibuat dan berada di luar kewenangan/tupoksi suatu satuan kerja/lembaga tidak dapat dijamin keakuratan dan tanggungjawab kelayakannya, sehingga akan menjadi suatu area yang berisiko tertinggi;
  6. belum terbangunnya budaya bekerja dengan suatu pola yang saling terintegrsi di lingkungan kantor pemerintah;
  7. keterbatasan kemampuan sumberdaya manusia untuk pengelolaan sistem informasi.

Pelaksanaan sistem informasi pada kantor pemerintah dapat diselenggarakan jika:
  1. ada suatu proses kerterbukaan serta manajemen data dan informasi yang tertib serta terencana;
  2. birokrasi tidak lagi menjadi suatu hambatan;
  3. pembangunan sistem informasi dikembalikan pada tupoksi masing-masing organisasi satuan pemerintahan;
  4. perlu dibuat suatu strategi dan kebijakan pendukung agar sistem informasi dapat diselaraskan dengan birokrasi yang ada di sektor swasta;
  5. perlu peningkatan sumberdaya manusia;
  6. perlu adanya change management di lingkungan kantor pemerintahan.
Change Management E-Government
Salah satu permasalahan yang dihadapi didalam pembangunan dan pengembangan e-government adalah sumberdaya manusia. Jika berbicara e-government, ada dua aktifitas utama yang dilakukan yaitu membangun back office dalam hal ini membangun sistem informasi dan membangun front office dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi. Jika dilihat kondisi yang ada saat ini di sejumlah kantor pemerintah, baik pusat maupun daerah, sumberdaya manusia yang berlatar belakang bidang teknologi informasi dan komunikasi relatif masih kurang memadai, sehingga diperlukan suatu upaya perubahan manajemen yang lebih dikenal sebagai change management.
Latar belakang perlunya perubahan manajemen adalah:
• Globalisasi merupakan sebuah fenomena dimana negara-negara di dunia secara langsung maupun tidak langsung mengharapkan terjadinya sebuah interaksi antar masyarakat yang jauh lebih efektif dan efisien dibandingkan dengan saat-saat sebelumnya (Douglas, 2001)

• Tiga jenis perubahan:
  1. Continuous Improvement – perubahan yang dilakukan secara perlahan-lahan dan kontinyu, dimana hasilnya berupa perbaikan kinerja secara inkremental;
  2. Leapfrogging – perubahan yang dilakukan secara bertahap dengan mengikuti periode tertentu, dimana menghasilkan perbaikan kinerja yang cukup signifikan pada sektor tertentu;
  3. Reengineering – perubahan yang dilakukan sesekali namun sanggup menghasilkan sebuah perbaikan kinerja yang sangat signifikan.
Di dalam kaitan dengan perubahan yang perlu dilakukan, ada beberapa hal yang harus dibenahi untuk mengubah kondisi yang ada saat ini menjadi kondisi yang diinginkan, yaitu:
• peraturan atau kebijakan;
• sumberdaya manusia dan budaya kerja;
• proses dan kinerja suatu kantor;
• produk;
• struktur organisasi;
• teknologi. Untuk hal diatas perlu dilakukan pembangunan institusi melalui komunikasi, pendidikan dan pelatihan, partisipasi, serta komitmen.
Beberapa langkah upaya change management e-government, yaitu:

  1. mencoba memahami mengapa resistensi tersebut muncul. Analisa ini teramat sangat penting untuk mencari penyebab dan akar permasalahannya;
  2. mengajak para stakeholder proyek e-government – terutama para calon pengguna langsung atau user – untuk bersama-sama duduk dalam merencanakan proyek terkait. Hal ini baik untuk dilakukan mengingat bahwa merekalah yang kelak akan merasakan manfaat dari penerapan e-government tersebut;
  3. dengan secara konsisten, kontinyu, dan intens melakukan penjelasan kepada masyarakat mengenai apa sebenarnya e-government, karena merupakan kenyataan bahwa konsep ini sangat asing di kalangan awam yang notabene merupakan mayoritas dari stakeholder proyek e-government;
  4. dengan menyelenggarakan pelatihan-pelatihan bagi mereka yang ingin atau berkepentingan untuk tahu lebih jauh mengenai konsep maupun aplikasi e-government;
  5. melibatkan pihak luar seperti konsultan ahli atau para pakar di bidang e-government yang telah memiliki pengalaman dan jam terbang tinggi di bidang perencanaan dan pengembangan e-government – untuk menjadi nara sumber dalam usaha mengevaluasi dan memperbaiki kinerja proyek yang berlangsung.

KORUPSI DI INDONESIA

Membongkar jejak sejarah budaya korupsi di indonesia

Kamis, 16 Juni 2011

Bagi saya, korupsi adalah suatu penyakit ganas yang menggerogoti kesehatan masyarakat seperti halnya penyakit kanker yang setapak demi setapak menghabisi daya hidup manusia (Selo Sumardjan) . Persoalan “korupsi” belakangan ini, telah menjadi materi perbincangan umum di tengah masyarakat kita. Semakin meluasnya praktek korupsi, terutama dikalangan pejabat pemerintahan, menjadikan masyarakat mencoba meraba-raba dan mencari akar persoalan sesungguhnya, betulkah korupsi sudah menjadi budaya yang tidak mampu dihilangkan dalam kehidupan sehari-hari?.

Terlebih lagi, kasus-kasus korupsi yang menghambur-hamburkan uang Negara tersebut, tidak mampu diselesaikan secara tuntas oleh aparatur hukum kita. Wajar saja kemudian jika proses hukum yang cenderung lemah tersebut, semakin membuat masyarakat kita tidak percaya dengan penegakan hukum terhadap praktek korupsi.. Jika kita merujuk kepada kamus Indonesia-Inggris maupun Inggris-Indonesia, maka akan kita dapati arti korupsi sebagai sesuatu yang busuk, buruk, bejat, dapat disogok, suka disuap. Jadi pada mulanya, pengertian korupsi dalam delik, terbatas hanya kepada penyuapan saja, yang kemudian menjadi luas dalam Encylopedia Amerikana, yang menyebutkan bahwa korupsi itu bermacam-macam. Ada korupsi dalam bidang politik dan keuangan materiil.

Indonesia sendiri sejak tahun 1960 telah melakukan upaya pemberantasan korupsi dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang Nomor 24 Tahun 1960 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Pemeriksaan Tindak Pidana Korupsi. Kemudian pada tahun 1971, diterbitkan Undang-undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Tindak Pidana Korupsi, yang kemudian pada tahun 1999 diganti lagi dengan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Junto Undang-undang Nomor 21 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Hingga pada tahun 2006, Pemerintah juga telah meratifikasi kovenan internasional tentang anti korupsi melalui Undang-undang Nomor 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan “United Nations Convention Against Corruption, 2003” (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Hal tersebut semakin menegaskan komitmen Pemerintah dalam memberantas korupsi di Negara kita. Namun pertanyaan mendasar selama ini yang mengemuka adalah, apakah dengan peraturan yang telah ada, cukup untuk memberantas praktek korupsi di Negara kita?. Ataukah ada permasalah lain yang perlu dijadikan focus dalam upaya pemberantasan korupsi?. Tulisan ini mencoba untuk memberikan perspektif yang berbeda, terutama memberikan alternative analisis terhadap pandangan yang selama ini hanya meletakkan persoalan moralitas sebagai akar utama munculnya korupsi dalam kehidupan kita.

Persoalan utama dari budaya korupsi, adalah moralitas individu bangsa kita. Demikian maxim (ujar-ujar) yang sering kita dengarkan dimana-mana. Ungkapan tersebut terasa sangat keliru, meski ada kebenarannnya yang dikandung di dalamnya. Kita tidak boleh serta merta melihat segi moral sebagai aspek tunggal dari praktek korupsi di Indonesia. Moralitas seseorang sangat ditentukan oleh lingkungan dan pergaulan sosialnya. Tinggi rendahnya moralitas yang terbangun dalam diri seseorang, tergantung seberapa besar dia menyerap nilai (pervade value) yang diproduksi oleh lingkungannya. Selama 32 tahun Orde Baru berkuasa, moralitas masyarakat direduksi oleh kepentingan politik dominan ketika itu. Negara melalui pemerintah telah secara sengaja membangun stigma dan prilaku yang menyimpang (abuse of power), dengan melegalkan praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat pemerintahan. Hal tersebut dikarenakan oleh bentuk serta pola praktek kekuasaan yang cenderung menindas sehingga secara terang-terangan telah melegalkan praktek korupsi, meski di depan mata masyarakat kita sendiri. Zaman itu, mungkin saja semua orang tahu (bahkan tak jarang yang pura-pura tak tahu), bahwa telah terjadi penyimpangan dan penyelewengan penggunaan uang rakyat dalam bentuk korupsi yang dilakukan oleh penguasa Orde Baru dan kroni-kroninya. Akan tetapi, budaya politik bisu yang dihegemonisasi oleh pemerintah, membuat masyarakat terkesan diam dan acuh akibat ketakutan-ketakutan mereka yang oleh pemerintah sengaja diproduksi secara sistematis ketika itu. Bersuara berarti berhadapan dengan kekuasaan, yang tentu akan berujung tekanan dan represi bagi yang berani menyuaraknnya.

Moralitas vs Sentralisme Kekuasaan

Korupsi merupakan sebuah masalah ekonomi yang berakar pada struktur sosial-politik masyarakat Indonesia. Korupsi bukanlah sebuah masalah moral semata, seperti yang dikatakan oleh sebagian besar orang yang meyakininya. Sekalipun tentu saja masalah moral memiliki peran penting dalam menyuburkan praktek korupsi di Negara kita, akan tetapi peran tersebut tidak tidak terlepas dari struktur politik kekuasaan yang memberikan ruang untuk munculnya masalah korupsi ini. Belakangan ini, begitu banyak terdengar upaya kampanye sederhana (soft campaigne), baik pemerintah, tokoh masyarakat, NGO/LSM, hingga tokoh-toko agama tentang seruan serta imbauan kepada masyarakat untuk terus memperbaiki akhlak dan nilai-nilai moral yang selama ini dianggap biang terjadinya korupsi di Indonesia. Media yang digunakan beragam, mulai dari iklan TV, Koran, Majalah, Tabloid hingga pamflet dan selebaran, yang intinya adalah menekankan kepada masyarakat bahwa, “jika ingin korupsi dibasmi, maka perbaikilah moral dan akhlak dasar kita, sebab moral yang bobrok merupakan akar penyebab korupsi di Indonesia”. Upaya tersebut bukan salah, namun keliru memandang persoalan secara objektif dan komprehensif. Bahkan kekhawatiran terbesar masyarakat adalah, “jangan sampai upaya kampanye anti korupsi yang terus menerus menyudutkan masalah moral sebagai biang keladi menjamurnya korupsi, hanya dijadikan sebagai upaya “cuci tangan” dan “pengalihan isu” dari para pejabat korup, sehingga dengan demikian, masyarakat kian lupa dengan faktor utama yang mendorong lahirnya praktek korupsi tersebut, yakni ; Bangunan kekuasan yang otoriter, menindas dan terpusat kepada segelintir orang saja”. Rendahnya moralitas seseorang, memang menjadi salah satu varian penyebab korupsi, namun masih ada hal yang lebih penting dari akar persoalan membudayanya praktek korupsi, yang tentu lebih substansial dari sekedar alasan moralitas.

Salah satu di antara banyak faktor yang berperan menyuburkan korupsi adalah “sentralisme kekuasaan”, atau struktur pemerintahan yang memusatkan kekuasaan di tangan segelintir elit saja. Bayangkan, jika kekuasaan dijalankan dengan tangan besi, betapa mudahnya praktek korupsi ini dilakukan atas nama kepentingan bersama. Sama persis dengan praktek kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintahan Orde Baru Soeharto, dimana pemerintah dengan begitu mudahnya menghisap pajak dan uang rakyat atas nama dan untuk pembangunan. Siapa yang menghalang-halangi, dicap sebagai anti pemerintah, membahayakan stabilitas Negara, hingga tuduhan komunis gaya baru dan lain sebagainya. Hakekatnya, kekuasaan Negara yang terpusat kepada segelintir orang saja, tentu akan mengakibatkan dominasi dan hegemoni yang kuat terhadap mayoritas rakyat Indonesia. Hal inilah yang menjadi factor penting mengapa korupsi begitu sangat mudahnya tumbuh subur dan berkembang di Indonesia.

Pada sisi lain, secara sosiologis dapat kita analisis bahwa kecenderungan korupsi yang menyebar dan menjamur dikalangan masyarakat umum, juga tidak lepas dari bangunan kekuasaan yang dipraktekkan oleh Orde Baru Soeharto. Pemikiran masyarakat telah secara otomatis terhegemoni dan tercekcoki oleh lingkungan social yang terbentuk dari bangunan kekuasaan yang sentralistik dan otoriter tersebut. Wajar kemudian ketika sebahagian besar pejabat-pejabat pemerintahan hingga tingkat daerah (Gubernur, Bupati, Walikota, Camat, Lurah hingga kepala dusun sekalipun), juga ikut bertindak sama dengan prilaku yang diterapkan oleh kekuasaan Orde Baru yang otoriter dan sewenang-wenang. Pejabat lokal pemerintahan inipun, tak segan untuk menggunakan otoritasnya demi memperkaya diri sendiri dengan menghisap serta menindas masyarakat. Toh pada akhirnya, masyarakat terkesan diam dan tak berani bertanya apalagi melakukan protes akibat dominannya kekuasaan yang terjadi. Akibatnya, budaya politik yang terbangun ditengah masyarakat cenderung prematur dan prakmatis. Semisal, banyaknya masyarakat yang berlomba-lomba untuk menjadi Bupati atau Camat meski harus menghabiskan biaya yag tak sedikit dalam pemilihannya dengan satu pemikiran, “Bukankah biaya yang saya keluarkan ini tak seberapa jika dibandingkan dana yang akan saya dapatkan di pemerintahan jika berkuasa nanti? Bahkan bisa berlipat-lipat jumlahnya”. Sungguh situasi yang sangat menyedihkan ditengah kondisi dan kehidupan masyarakat yang semakin terpuruk.

Korupsi dan Warisan Masa Lalu

Dalam konteks perjalanan bangsa Indonesia, persoalan korupsi memang telah mengakar dan membudaya. Bahkan dikalangan mayoritas pejabat publik, tak jarang yang menganggap korupsi sebagi sesuatu yang “lumrah dan Wajar”. Ibarat candu, korupsi telah menjadi barang bergengsi, yang jika tidak dilakukan, maka akan membuat “stress” para penikmatnya. Korupsi berawal dari proses pembiasan, akhirnya menjadi kebiasaan dan berujung kepada sesuatu yang sudah terbiasa untuk dikerjakan oleh pejabat-pejabat Negara. Tak urung kemudian, banyak masyarakat yang begitu pesimis dan putus asa terhadap upaya penegakan hukum untuk menumpas koruptor di Negara kita. Jika dikatakan telah membudaya dalam kehidupan, lantas darimana awal praktek korupsi ini muncul dan berkembang?. Tulisan ini akan sedikit memberikan pemaparan mengenai asal-asul budaya korupsi di Indonesia yang pada hakekatnya telah ada sejak dulu ketika daerah-daerah di Nusantara masih mengenal system pemerintah feodal (Oligarkhi Absolut), atau sederhanya dapat dikatakan, pemerintahan disaat daerah-daerah yang ada di Nusantara masih terdiri dari kerajaan-kerajaan yang dipimpin oleh kaum bangsawan (Raja, Sultan dll).

Secara garis besar, budaya korupsi di Indonesia tumbuh dan berkembang melalu 3 (tiga) fase sejarah, yakni ; zaman kerajaan, zaman penjajahan hingga zaman modern seperti sekarang ini. Mari kita coba bedah satu-persatu pada setiap fase tersebut.

Pertama, Fase Zaman Kerajaan. Budaya korupsi di Indonesia pada prinsipnya, dilatar belakangi oleh adanya kepentingan atau motif kekuasaan dan kekayaan. Literatur sejarah masyarakat Indonesia, terutama pada zaman kerajaan-kerajaan kuno, seperti kerajaan Mataram, Majapahit, Singosari, Demak, Banten dll, mengajarkan kepada kita bahwa konflik kekuasan yang disertai dengan motif untuk memperkaya diri (sebagian kecil karena wanita), telah menjadi faktor utama kehancuran kerajaan-kerajaan tersebut [3]. Coba saja kita lihat bagaimana Kerajaan Singosari yang memelihara perang antar saudara bahkan hingga tujuh turunan saling membalas dendam berebut kekuasaan, mulai dari Prabu Anusopati, Prabu Ranggawuni, hingga Prabu Mahesa Wongateleng dan seterusnya. Hal yang sama juga terjadi di Kerajaan Majapahit yang menyebabkan terjadinya beberapa kali konflik yang berujung kepada pemberontakan Kuti, Nambi, Suro dan lain-lain. Bahkan kita ketahui, kerajaan Majapahit hancur akibat perang saudara yang kita kenal dengan “Perang Paregreg” yang terjadi sepeninggal Maha Patih Gajah Mada. Lalu, kerajaan Demak yang memperlihatkan persaingan antara Joko Tingkir dengan Haryo Penangsang, ada juga Kerajaan Banten yang memicu Sultan Haji merebut tahta dan kekuasaan dengan ayahnya sendiri, yaitu Sultan Ageng Tirtoyoso [4]. Hal menarik lainnya pada fase zaman kerajaan ini adalah, mulai terbangunnya watak opurtunisme bangsa Indonesia. Salah satu contohnya adalah posisi orang suruhan dalam kerajaan, atau yang lebih dikenal dengan “abdi dalem”. Abdi dalem dalam sisi kekuasaan zaman ini, cenderung selalu bersikap manis untuk menarik simpati raja atau sultan. Hal tersebut pula yang menjadi embrio lahirnya kalangan opurtunis yang pada akhirnya juga memiliki potensi jiwa yang korup yang begitu besar dalam tatanan pemerintahan kita dikmudian hari.

Kedua, Fase Zaman Penjajahan. Pada zaman penjajahan, praktek korupsi telah mulai masuk dan meluas ke dalam sistem budaya sosial-politik bangsa kita. Budaya korupsi telah dibangun oleh para penjajah colonial (terutama oleh Belanda) selama 350 tahun. Budaya korupsi ini berkembang dikalangan tokoh-tokoh lokal yang sengaja dijadikan badut politik oleh penjajah, untuk menjalankan daerah adiministratif tertentu, semisal demang (lurah), tumenggung (setingkat kabupaten atau provinsi), dan pejabat-pejabat lainnya yang notabene merupakan orang-orang suruhan penjajah Belanda untuk menjaga dan mengawasi daerah territorial tertentu. Mereka yang diangkat dan dipekerjakan oleh Belanda untuk memanen upeti atau pajak dari rakyat, digunakan oleh penjajah Belanda untuk memperkaya diri dengan menghisap hak dan kehidupan rakyat Indonesia. Sepintas, cerita-cerita film semisal Si Pitung, Jaka Sembung, Samson & Delila, dll, sangat cocok untuk menggambarkan situasi masyarakat Indonesia ketika itu. Para cukong-cukong suruhan penjajah Belanda (atau lebih akrab degan sebutan “Kompeni”) tersebut, dengan tanpa mengenal saudara serumpun sendiri, telah menghisap dan menindas bangsa sendiri hanya untuk memuaskan kepentingan si penjajah. Ibarat anjing piaraan, suruhan panjajah Belanda ini telah rela diperbudak oleh bangsa asing hanya untuk mencari perhatian dengan harapan mendapatkan posisi dan kedudukan yang layak dalam pemerintahan yang dibangun oleh para penjajah. Secara eksplisit, sesungguhnya budaya penjajah yang mempraktekkan hegemoni dan dominasi ini, menjadikankan orang Indonesia juga tak segan menindas bangsanya sendiri lewat perilaku dan praktek korupsi-nya. Tak ubahnya seperti drakula penghisap darah yang terkadang memangsa kaumnya sendiri demi bertahan hidup (Survival).

Ketiga, Fase Zaman Modern. Fase perkembangan praktek korupsi di zaman modern seperti sekarang ini sebenarnya dimulai saat lepasnya bangsa Indonesia dari belenggu penjajahan. Akan tetapi budaya yang ditinggalkan oleh penjajah kolonial, tidak serta merta lenyap begitu saja. salah satu warisan yang tertinggal adalah budaya korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). Hal tersebut tercermin dari prilaku pejabat-pejabat pemerintahan yang bahkan telah dimulai di era Orde lama Soekarno, yang akhirnya semakin berkembang dan tumbuh subur di pemerintahan Orde Baru Soeharto hingga saat ini. Sekali lagi, pola kepemimpinan yang cenderung otoriter, anti-demokrasi dan anti-kritik, membuat jalan bagi terjadi praktek korupsi dimana-mana semakin terbuka. Indonesia tak ayal pernah menduduki peringkat 5 (lima) besar Negara yang pejabatnya paling korup, bahkan hingga saat ini.

Korupsi = Kekerasan Struktural

Secara hakiki, korupsi merupakan bentuk kekerasan struktural yang dilakukan oleh Negara dan pejabat pemerintahan terhadap masyarakat. Betapa tidak, korupsi yang kian subur akan semakin membuat beban devisit anggaran Negara semakin bertambah. Hal ini kemudian akan mengakibatkan sistem ekonomi menjadi “colaps” dan berujung kepada semakin tingginya inflasi yang membuat harga-harga kebutuhan masyarakt kian melambung tinggi. Eknomi biaya tinggi ini berakibat terjadinya ketidakseimbangan antara daya beli masyarakat dengan tingkat harga komoditas terutama komoditas bahan pokok. Masyarakat cenderung dipaksa untuk menerima keadaan ini, meski ambruknya sistem ekonomi kita ini, adalah akibat dari ulah para pejabat yang mengkorupsi uang Negara demi kepentingan pribadi, kelompok dan golongan masing-masing. Intinya, masyarakat dipakda untuk menanggung beban yang tidak dilakukannya. Kita tentu masih ingat dengan “krisis moneter” yang terjadi antara tahun 1997/1998 lalu!!!. Penyebab utama dari terjadinya krisis yang melanda Indonesia ketika itu adalah beban keuangan Negara yang semakin menipis akibat ulah pemerintahan Orde Baru Soeharto yang sangat korup.

Korupsi dikatakan sebaga bentuk kekerasan struktural, sebab korupsi yang dilakukan oleh para pejabat merupakan bentuk penyelewengan terhadap kekuasaan Negara, dimana korupsi lahir dari penggunaan otoritas kekuasaan untuk menindas, merampok dan menghisap uang rakyat demi kepentingan pribadi. Akibatnya, fungsi Negara untuk melayani kepentingan rakyatnya, berubah menjadi mesin penghisap bagi rakyatnya sendiri. Relasi politik yang terbangun antara masyarakat dan Negara melalui pemerintah sungguh tidak seimbang. Hal ini berakibat kepada munculnya aristokrasi baru dalam bangunan pemerintahan kita. Negara dituding telah dengan sengaja menciptakan ketimpangan sosial dalam kehidupan masyarakat. Kemiskinan yang semakin meluas, antrian panjang barisan pengangguran, tidak memadainya gaji dan upah buruh, anggaran social yang semakin kecil akibat pencabutan subsidi (Pendidikan, kesehatan, listril, BBM, telepon dll), adalah deretan panjang persoalan yang menghimpit masyarakat sehingga membuat beban hidup masyarakat semakin sulit. Bukankah ini akibat dari praktek kongkalikong (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah kita yang korup?. Salah satu fakta penitng yang bisa kita saksikan adalah bagaimana pemerintah dengan lapang dada telah suka rela melunasi hutang-hutang Negara yang telah dikorup oleh pemerintah Orde Baru dulu.

Di dalam Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN), pemerintah mengalokasi anggaran kurang lebih 40 (empat puluh) persen untuk mebayar utang-utang luar negeri melalui IMF, Bank Dunia, Paris Club, CGI, serta lembaga donor lainnya. Belum lagi dana penggunaan Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) yang harus ditanggung oleh Negara. Alokasi pemabayaran utang-utang Negara akibat korupsi ini, akan menuai konsekuensi, yakni ; membebankan pembayaran utang tersebut kepada rakyat indoensia yang sama sekali tidak pernah menikmati utang-utang tersebut. Membebankan dengan memilih mencabut anggaran dan subsidi social bagi masyarakat. Membebankan dengan semakin terpuruknya nasib dan kehidupan masyarakat. Sungguh tidak adil, “Koruptor yang menikmati, rakyat yang dikorbankan”!!!. Dari pemaparan tersebut, maka sangatlah wajar jika dikatakan bahwa praktek korupsi merupakan sebuah bentuk tindakan kekerasan secara sistemik, yang telah sengaja dibangun dan diciptakan oleh struktur kekuasaan negara terhadap masyarakat sendiri.

Mengembalikan Kepercayaan Publik

Tidak bisa kita pungkiri bahwa tingkat praktek korupsi dikalangan pejabat-pejabat Negara, menjadikan masyarakat menarik dukungannya terhadap pemerintah. Kepercayaan serta harapan masyarakat (expectation) terhadap pemerintah bisa dikatakan semakin menurun, bahkan senderung apatis terhadap pemerintah beserta aparatur-aparatur hukumnya (polisi, jaksa, hakim, dan lain sebagainya). Selama ini, pemberantasan korupsi yang dilakukan oleh pemerintah terkesan berjalan dengan lamban. Berbelit-belit dan sangat birokratisnya upaya pemberantasan korupsi yang dilakukan, menjadi salah satu factor mendasar penyelesaiaan sebuah kasus. Semisal, pemeriksaan seorang pejabat legislatif (anggota DPRD) yang harus menunggu izin dan keputusan dari Menteri Dalam Negeri, atau pejabat pemerintahan daerah yang harus menunggu persetujuan presiden, dll, menjadi salah satu kendala utama yang harus mampu pemerintah carikan solusi yang tepat. Pemerintah dalam hal ini dituntut untuk membuat kebijakan (policy) yang bertujuan untuk mempelancar proses pemberantasan korupsi sehingga daapt berjalan cepat, efisien dan efektif tanpa harus dihalangi oleh aturan-aturan yang telampau birokratis.

Sejak periode pertama kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono dan Jusuf Kalla, program pemberantasan korupsi menjadi prioritas utama dalam program kerja pemerintahannya. Upaya ini harus kita apresiasi dengan memberikan bentuk penghargaan yang tinggi atas upaya yang dilakukan tersebut. Namun patut kita catat bahwa, meskipun pemerintahan SBY-JK telah berhasil mengungkap kasus-kasus korupsi yang melibatkan pejabat-pejabat Negara (semisal kasus KPU, kasus Bulog, kasus Abdullah Puteh di Aceh, kasus Syaukani HR, kasus Al Amien Nur, serta kasus-kasus yang melibatkan pejabat pemerintah di beberapa daerah), namun upaya pemberantasan korupsi ini belum mampu menyentuh para koruptor-koruptor kakap (dari era Soeharto sampai sekarang, diperiode kedua Pemerintahan SBY-Boediono) yang hingga saat ini masih bebas berkeliaran tanpa pernah sedikitpun tersentuh oleh hukum. Jika pemerintah mampu memberikan bukti nyata dari komitmen pemberantasan korupsi, maka kpercayaan masyarakatpun akan kembali pulih, bahkan lebih partisipatif dalam setiap masalah-masalah yang sedang dihadapi oleh bangsa dan Negara. Namun sebaliknya, jika pemerintah lamban dan gagal dalam menunaikan kewajiban dan tanggung jawabnya untuk menuntaskan kasus-kasus korupsi yang ada, maka rakyat akan jauh semakin jauh meninggalkannya. Apa jadinya sebuah pemrintahan tanpa dukungan dari masyarakatnya?

Melawan Korupsi : Antara Mitos dan Realitas

Upaya yang harus dilakukan untuk memberantas dan membasmi korupsi ini bukan hanya sekedar menggiatkan pemeriksaan, penyelidikan, dan penangkapan koruptor. Upaya pemberantasan korupsi juga bukan hanya sekedar dengan menggiatkan kampanye peningkatan nilai-nilai moral seseorang. Namun upaya korupsi harus secara mendalam menutup akar peneybabnya melalui ;

Pertama, Negara melalui pemerintah harus melakukan perbaikan kondisi hidup masyarakat secara menyeluruh, terutama dalam konteks perbaikan ekonomi. Negara dalam hal ini bertanggung jawab dalam memenuhi kebutuhan-kebutuhan hidup masyarakat, baik secara bathin maupun lahiriah, primer maupun sekunder, fisik dan non-fisik secara seimbang. Jika kehidupan masyarakat terus menerus didera dengan kemiskinan, maka keinginan untuk mencari jalan pintas demi memperkaya diri, akan terus muncul dan berkembang dalam pikiran masyarakat kita. Sebab masalah korupsi bukan hanya masalah penegakan dan kepastian hukum saja, namun masalah korupsi juga integral dengan masalah sosial, ekonomi dan politik.

Kedua, Membangun sistem kekuasaan yang demokratis. Seperti yang telah ditegaskan pada bagian awal tulisan ini, bahwa prilaku korup juga turut ditopang oleh sistem yang mendorongnya. Jika kekuasaan berwujud sentralistik, otoriter dan menindas, maka bukan tidak mungkin korupsi akan terus menerus terjadi. Kita memerlukan sebuah sistem pemerintahan yang demokratis, transparan, tidak anti kritik, serta meemiliki wujud penghormatan yang tinggi terhadap masyarakat sipil (civil society). Prinsip utama “Good Governance”, yang mencakup Akuntabilitas, Transparansi dan Partisipatif, harus benar-benar mampu diejahwantahkan dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat.

Ketiga, Membangun akses kontrol dan pengawasan masyarakat terhadap pemerintah. Penanganan masalah korupsi ini tidak bisa dilakukan dengan cara memusatkan kendali pada satu badan atau menyerahkan penanganannya pada pemerintah saja. Sebab hal tersebut cenderung berjalan linear dan non-sturktural. Dalam arti, apakah mungkin pemerintah akan efektif memeriksa pejabatnya sendiri. Masalah klasik yang kemudian muncul adalah, “siapa yang akan bertanggung jawab untuk mengawasi pengawas?”. Persoalan ini hanya akan terakomodasi dalam konteks kekuasan otoritarian. Dalam sebuah struktur kekuasaan Negara yang egaliter, masyarakat dberikan akses kontrol terhadap kekuasaan, sehingga fungsi pengawasan secara horisontal antar struktur yang sejajar, maupun pengawasan akan berjalan seimbang dengan kontrol yang tajam terhadap penyelewengan. Salah satu bentuk kekhawatiran terhadap hal tersebut adalah, tingkat kepercayaan yang terlalu besar (great expectation) masyarakat terahadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Hal tersebut justru bias menjadi boomerang terahdap kinerja lembaga ini, yang tak lain merupakan wujud representative Pemerintah. Penanganan korupsi ini, memang tidak boleh hanya bergantung kepada KPK saja, akan tetapi lembaga-lembaga hokum Negara, seperti kejaksaan dan kepolisian, juga harus mampu memaksimalkan fungsi dan perannya masing-masing, termasuk mendorong maju kesadaran masyarakat terhadap upaya pemberantasan korupsi.

Keempat, Penguatan institusi-institusi aparatur penegak hukum. Kejujuran penegak hukum (fair trial), harus mulai dibangun secara kuat, terutama dikalangan perangkat Criminal Justice System (CJS), yang menjadi tumpuan utama dalam memberantas korupsi di Negara kita. Hal ini dimaksudkan agar proses penanganan korupsi dapat berjalan secara efisien. Kredibilitas aparatur hukum kita, dituntut untuk lebih berlaku adil, objektif dan tidak berpihak dalam memandang serta memilih-milih kasus (equality of law). Kasus seorang koruptor harus diproses dan dapat diselesaikan secara cepat, layaknya penyelesaiaan kasus seorang pencuri ayam yang relative tidak membutuhkan waktu yang lama. Disinilah dituntut keprofesionalan para penegak hukum kita, jika pemerintah menginginkan penyelesaiaan kasus korupsi secara efektif.

Kelima, Perbaikan sistem dan mutu pendidikan. Hal ini memungkinkan untuk menamankan prilaku yang bersih, jujur dan bertanggung jawab bagi siswa-siswa sekolah sedari dini. Prilaku pengajar para (dosen, guru, dll) juga harus ikut diperbaiki. Selama ini, tak jarang dari para pengajar tersebut memberikan contoh yang buruk kepada anak didiknya, yang kelak akan diadopsinya oleh anak didik tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya saja ; jual ijazah dan nilai, bisnis buku/modul pelajaran, pungutan liar, hingga cara mengajar yang kaku, otoriter dan cenderung menekan anak-anak didiknya. Jika hal tersebut tidak mampu kita praktekkan secara serius, maka tidak ada jaminan bahwa prilaku korup masyarakat Indonesia akan hilang dengan sendirinya. Bisa jadi justru akan semakin subur tanpa dapat kita hentikan bersama-sama.

Pengikut