Di tengah gairah ekonomi nasional yang sedang menggeliat tumbuh, ada yang menggelisahkan di balik semua itu, mengingat dominasi pihak asing kini semakin meluas dan menyebar pada sektor-sektor strategis perekonomian nasional. Dominasi asing semakin kuat pada sektor-sektor strategis, seperti keuangan, energi dan sumber daya mineral, telekomunikasi, serta perkebunan. Dengan dominasi asing seperti itu, perekonomian sering kali terkesan tersandera oleh kepentingan mereka.
Pemerintah disarankan menata ulang strategi pembangunan ekonomi, agar hasilnya lebih merata dirasakan rakyat dan berdaya saing tinggi menghadapi persaingan global. 50,6 persen aset perbankan nasional dikuasai asing per Maret 2011. Itu berarti sekitar Rp 1.551 triliun dari total aset perbankan Rp 3.065 triliun dikuasai asing. Secara perlahan porsi kepemilikan asing terus bertambah. Padahal melihat Juni 2008, kepemilikan asing baru mencapai 47,02 persen.
Hanya 15 bank yang menguasai pangsa 85 persen. Dari 15 bank itu, sebagian sudah dimiliki asing. Dari total 121 bank umum, kepemilikan asing ada pada 47 bank dengan porsi bervariasi.
Tak hanya perbankan, asuransi juga didominasi asing. Sekitar 45 perusahaan asuransi jiwa yang beroperasi di Indonesia, tak sampai setengahnya yang murni milik Indonesia. Sehingga jika dikelompokkan, dari asuransi jiwa yang ekuitasnya di atas Rp 750 miliar hampir semuanya usaha patungan. Dari sisi perolehan premi, lima besarnya adalah perusahaan asing.
Semua itu tak terlepas dari aturan pemerintah yang sangat liberal, memungkinkan pihak asing memiliki sampai 99 persen saham perbankan dan 80 persen saham perusahaan asuransi.
Pasar modal juga demikian. Total kepemilikan investor asing 60-70 persen dari semua saham perusahaan yang dicatatkan dan diperdagangkan di bursa efek.
Pada badan usaha milik negara (BUMN) pun demikian. Dari semua BUMN yang telah diprivatisasi, kepemilikan asing mencapai 60 persen.
Lebih tragis lagi di sektor minyak dan gas. Porsi operator migas nasional hanya sekitar 25 persen, selebihnya 75 persen dikuasai pihak asing. Pemerintah melalui Direktorat Jenderal Migas Kementerian ESDM menetapkan target porsi operator oleh perusahaan nasional mencapai 50 persen pada 2025.
Porsi Asing Harus Direvisi
Melihat fenomena tersebut, berbagai kalangan mendesak agar aturan kepemilikan pihak asing pada perbankan direvisi. Kepemilikan asing sampai 99 persen sudah tidak sesuai dengan kondisi terkini perekonomian. Perlu ditata ulang pengaturannya tentang batasan kepemilikan, pola dan jangka waktu pelepasan kepemilikan asing, asas resiprokal, dan skala bank yang boleh membeli saham bank di Indonesia.
Selain itu, bank-bank yang sudah dikuasai pihak asing tergolong sistemik sehingga posisinya sangat riskan bagi perbankan nasional. “Jika di negara asalnya krisis, akan menggoyang perbankan di sini,” kata Direktur Biro Riset Info Bank, Eko B Supriyanto.
Leluasanya pihak asing memiliki saham sampai 99 persen berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1999. Pasal 3 Peraturan Pemerintah itu menyebutkan, ”Jumlah kepemilikan saham bank oleh warga negara asing dan atau badan hukum asing yang diperoleh melalui pembelian secara langsung ataupun melalui bursa efek sebanyak-banyaknya adalah 99 persen (sembilan puluh sembilan per seratus) dari jumlah saham bank yang bersangkutan”.
Memang peraturan ini dibuat karena pada saat itu krisis ekonomi, pemerintah memerlukan investor asing di sektor perbankan, sedangkan potensi pemodal domestik terbatas.
Dampak kebijakan itu, kepemilikan pihak asing pada bank di Indonesia terus meningkat. Kini kepemilikan asing sudah ada di 47 bank. Rinciannya, 10 kantor cabang bank asing (induknya di luar negeri), 16 bank campuran (asing dan nasional), dan 21 bank nasional atau lokal.
Bukan hanya di bank besar, kepemilikan asing juga menyebar pada bank-bank skala kecil. Per Maret 2011, kepemilikan asing pada 47 bank menguasai ekuivalen 50,6 persen dari total aset perbankan nasional yang mencapai Rp 3.065 triliun.
Eko mengatakan, pentingnya penataan ulang aturan perbankan agar kehadiran asing berkonstribusi lebih besar dalam pembangunan ekonomi. Merajalelanya pihak asing dalam memiliki saham bank di Indonesia hanya untuk meraup keuntungan dan tidak peduli prinsip bank sebagai agent of development.