Total Tayangan Halaman

UNIVERSITAS GUNADARMA

studensite gunadarma

Kamis, 26 Juli 2012

KOIN KPK

Akhir-akhir ini banyak opini ataupun media massa yang fokus terhadap masalah tentang koin untuk KPK. Sebenarnya ada apa dengan koin untuk KPK sehingga bangsa ini heboh dengan berita tersebut?? Lalu kemana isu-isu korupsi yang belum terselesaikan? Hampir semua kalangan mulai dari aktivis mahasiswa, aktivis kepemudaan, LSM, masyarakat, hingga mantan-mantan pejabat negara dan pengusaha ikut serta dalam meramaikan isu koin untuk KPK. Ada pihak yang pro maupun kontra. Saya jadi bingung dengan bangsa yang tak anggap hebat ini dengan SDM yang cerdas semuanya. Kebingungan ini berangkat dari asumsi pribadi, yang menimbulkan pertanyaan, kenapa mereka pada sibuk urus koin untuk KPK?? Tapi kenapa mereka tidak lagi menyuarakan kasus-kasus dugaan korupsi yang tidak kunjung selesai, ada juga masalah HAM yang tak pernah usai dan masih banyak masalah kesejahteraan masyarakat yang belum tercapai. Sehingga muncul asumsi bahwa ternyata bangsa kita Indonesia sangat mudah termakan isu oleh media yang saya rasa sudah kurang objektif dalam memberitakan sesuatu. Dan lebih miris lagi bahwa orang-orang kita gampang sekali melupakan kejadian-kejadian penting di masa lalu, hanya karena isu yang terkadang tidak penting untuk saling diributkan. Tidak salah jika ada kalangan yang menganggap bahwa tindakan KPK yang ngotot untuk membangun gedung baru dengan cara mengumpulkan koin dari masyarakat merupakan tindakan yang lebay dan terkesan ngambek pantaskah lembaga yang dianggap Super Body melakukan hal ini, Padahal Komisi III DPR RI belum sampai pada kesimpulan menolak pembangunan gedung KPK tersebut. Selain itu bagaimana nanti proses pertanggung jawaban dari KPK melalui koin ini, karena hal semacam ini akan mengaburkan dalam hal pertanggungjawaban kinerja KPK. Sebab, selama ini tidak ada istilah membangun gedung negara dengan cara saweran dari uang rakyat. Harusnya semua itu dibiayai oleh APBN dan harus dipertanggungjawabkan, termasuk diaudit oleh BPK.
Beberapa kalangan dalam penggalangan koin untuk KPK menganggap bahwa ini merupakan kesungguhan masyarakat dalam melakukan pemberantasan terhadap korupsi. mengumpulkan koin untuk pembangunan gedung baru KPK merupakan bentuk simpatisan terhadap kiprah lembaga tersebut dalam memberantas korupsi. Pengumpulan dana itiu dinilai bukan pelanggaran hukum, sehingga tidak bisa dihalang-halangi. Bahkan, hal ini seharusnya dijadikan bahan introspeksi bagi DPR yang berupaya menghalangi pencairan anggarannya. Padahal saya rasa ini semua masalah proses pembahasannya saja di DPR RI, anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad Yani menegaskan bahwa pihaknya tidak berniat untuk menghalang-halangi niat KPK membangun gedung baru. “Belum dicabutnya tanda bintang, tidak bisa diartikan Komisi III menolak, tapi lebih pada belum tercapainya titik temu soal program pembangunan gedung baru KPK tersebut,” ujarnya. Menurut dia, sebagian anggota Komisi III sudah menyarankan agar KPK memanfaatkan sejumlah gedung milik pemerintah yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Selanjutnya, Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum 29/06/2012 dalam Liputan6.com Jakarta, mengatakan bahwa teknik saweran koin atau uang masyarakat untuk membangun gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang baru sangatlah tidak baik, lantaran kebutuhan untuk meningkatkan fasilitas negara seperti Gedung KPK harus menggunakan anggaran negara. “Menurut saya, kebutuhan KPK apakah gedung apakah fasilitas, apakah peralatan, itu musti didukung dari alokasi anggaran negara dari APBN. Tidak elok kalau kebutuhan KPK termasuk dalam hal ini gedung itu pakai teknik saweran. Untuk itu, Anas menegaskan dirinya telah meminta pimpinan fraksi, dan kepada anggota Fraksi Partai Demokrat di komisi III DPR RI untuk mendukung KPK agar mendapatkan fasilitas kerja yang memadai. “Jangankan gedung, seluruh peralatan yang dibutuhkan untuk peningkatan KPK layak didukung dari alokasi anggaran negara,” tegasnya. “Dan saya tahu dari Ketua Fraksi dan pimpinan Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat sudah mengambil posisi yang jelas, (yaitu) mendukung alokasi anggaran negara untuk pembangunan gedung KPK,” pungkasnya.
Terlepas dari polemik pembahasan gedung baru KPK di DPR RI dan koin untuk pembangunan gedung baru kpk. Isu ini semakin menguatkan asumsi saya bahwa masyarakat kita masih mudah terprovokasi oleh media dan begitu mudahnya juga melupakan kasus-kasus besar masa lalu dimana seharusnya hal itulah yang harusnya kita suarakan terus-menerus demi kebaikan bangsa kedepannya. Sepintis kita ingat-ingat lagi kebelang, apakah kasus Century sudah selesai??? Bagaimana dengan pengelolaan dana PNBP sebesar Rp 2,4 triliun??? Bagaimana kasus pelanggaran HAM yang menjadi sorotan internasional?? Apakah hasil rekomendasi dari KOMNAS HAM terkait dengan pelanggaran HAM sudah dijalankan oleh pemerintah??? Bagaimana nasib saudara-saudara kita di Papua dan Ambon?? Belum lagi kesejahteraan masyarakat kita di daerah-daerah perbatasan?? Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya gambaran kecil dari berbagai permasalahan di bangsa kita tercinta ini, lantas apakah semua kalangan di Indonesia sudah tidak lagi peduli dengan masalah-masalah itu? Apakah kita harus peduli hanya dengan isu yang sedang menjadi Trending Topic belaka untuk mengatkat nama institusi ataupun secara personal, dengan melupakan kasus yang tak pikir lebih bermanfaat buat bangsa dan masyarakat. Padahal berdasarkan catatan Indonesia Police Watch (IPW), sedikitnya terdapat 20 kasus besar yang penyelesaiannya masih terkatung-katung. Menurut Presidium IPW, Neta S Pane, beberapa diantara kasus itu bahkan mangkrak selama hampir lima tahun. Sedangkan untuk masalah pelanggaran HAM, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menilai, pemerintahan SBY cenderung mengabaikan pelanggaran HAM yang dari tahun ke tahun tak kunjung terselesaikan. Padahal, persoalan HAM merupakan salah satu isu yang terus dipertanyakan dunia internasional. Sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu yang menjadi sorotan internasional saat ini, seperti peristiwa Talangsari, peristiwa Wamena-Wasior, peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, kasus penculikan aktivis, pembunuhan aktivis HAM Munir, dan sejumlah kasus pelanggaran HAM lainnya, menjadi harapan masyarakat akan keseriusan pemerintah dalam menyelesaikannya.

Koin Untuk KPK Merusak Ketatanegaraan
Anggota Komisi III DPR RI dari Fraksi PPP, Ahmad Yani berpendapat, sebagai lembaga negara KPK tidak pantas menggalang opini masyarakat. Dan, pengumpulan koin oleh untuk pembangunan gedung KPK merupakan tindakan tidak benar.
''Mestinya KPK paham dengan aturan bahwa sebagai lembaga negara tak boleh ada kegiatan yang dibiayai langsung oleh swasta atau masyarakat,'' Menurut dia, pengumpulkan koin KPK oleh masyartakat karena dipicu opini yang sengaja dihembuskan Wakil Ketua KPK, Bambang Wijoyanto. Praktek pengumpulan koin rawan masalah dan merusak sistem ketatanegaraan di republik ini.
Tentang tuntutan masyarakat yang menginginkan pembangunan gedung baru KPK salah satunya melihat dari perbandingan struktur KPK di Hongkong yang mendapat fasilitas memadahi. "KPK kita beda dengan KPK Hongkong. KPK kita bisa mensupervisi dengan kepolisian dan kejaksaan, mindset itu yang belum sama,"
Komisi III DPR setuju jika gedung KPK yang ada saat ini memang tidak layak karena sudah over kapasitas. ''Tapi,bukan berarti harus membangun gedung baru. Masih banyak gedung aset negara yang bisa dimanfaatkan,'' ujarnya yang juga mengatakan bahwa Komisi III DPR menuntut kinerja KPK.
Koin KPK = Suap
Di beberapa daerah Indonesia, termasuk kota Padang, masyarakat sipil gencar menyelenggarakan saweran koin untuk pembangunan gedung baru KPK. Sebagaimana ditulis disini, saya menolak dan tidak berminat mengikuti acara demikian.
Kali ini, saya mengajukan satu lagi alasan spesifik. Yaitu, bahwa saweran tersebut merupakan suap secara tidak langsung pada lembaga negara!
Pasal 12B UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
  1.   Setiap pemberian dalam arti luas (gratifikasi) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketetentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
  2.   Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Penjelasan Pasal 12B ayat (1):
    Yang dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan melalui sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.
Disebut suap secara tidak langsung karena konteks subjek hukum penerima gratifikasi suap dalam Pasal 12B UU Tipikor tersebut di atas adalah PNS dan Penyelenggara Negara. Contoh kongkritnya, jika memberikan uang Rp.10 juta pada pegawai KPK yang berstatus PNS, itu namanya suap. Atau, memberikan uang Rp.10 juta kepada Komisioner KPK (penyelenggara negara), itu juga suap.
      Sementara, ’saweran koin untuk KPK’ bukan ditujukan pada PNS/staf dan Komisioner KPK melainkan pada institusi KPK. Namun harus dipahami bahwa penanggung jawab dari institusi KPK adalah para Komisioner KPK sebagai Pimpinan KPK, yang dalam hal ini secara tegas (explicit) telah menyetujui saweran demikian dengan catatan maksimal Rp.10 juta. Nilai Rp.10 juta ini saja sudah terkesan “menyiasati” Pasal 12B UU Tipikor di atas!
Kemudian, syarat berikutnya disebut suap secara langsung jika pemberian (gratifikasi) tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas dari si penerima selaku PNS atau penyelenggara negara.
     Sedangkan ’Saweran koin untuk KPK’ tidak berhubungan secara langsung dengan jabatan di KPK dan tidak berlawanan secara langsung dengan kewajiban atau tugas dari Komisioner KPK dan staf KPK. Pasalnya, saweran tersebut ditujukan pada institusi atau bukan pada pribadi staf dan Komisioner KPK.
     Namun demikian, dengan telah disetujuinya saweran tersebut secara tegas (explicit) oleh Komisioner KPK, maka secara langsung para Komisioner bertanggung jawab secara hukum atas penerimaan saweran tersebut. Sebab, satu-satunya yang bisa menolak menerima saweran tersebut adalah para Komisioner KPK. Di titik inilah saweran demikian dimaksudkan suap secara tidak langsung.
   Para penyumbang memang tidak sedang berkasus dengan KPK. Tetapi siapa bisa menjamin esok harinya, bulan depan, dan tahun-tahun berikutnya? Institusi se-independen KPK perlu dijaga dari bias konflik kepentingan apalagi sampai benar-benar tersandera kepentingan tertentu diluar seharusnya menurut hukum.
Jangankan terang-terangan menerima uang demikian, menerima bantuan payung saat hujan saja, secara etis, para Komisioner KPK tersebut harusnya menolak.
       Solusinya adalah seperti disampaikan secara “politis” oleh Anas Urbaningrum sesaat setelah diperiksa KPK, Rabu (27/6) kemaren. Kata Anas, sumber dana KPK dari APBN dan ia sudah memerintahkan Fraksi Demokrat menyetujui dana pembangunan gedung baru KPK

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut