Akhir-akhir ini banyak opini ataupun media massa yang
fokus terhadap masalah tentang koin untuk KPK. Sebenarnya ada apa dengan koin
untuk KPK sehingga bangsa ini heboh dengan berita tersebut?? Lalu kemana
isu-isu korupsi yang belum terselesaikan? Hampir semua kalangan mulai dari
aktivis mahasiswa, aktivis kepemudaan, LSM, masyarakat, hingga mantan-mantan
pejabat negara dan pengusaha ikut serta dalam meramaikan isu koin untuk KPK.
Ada pihak yang pro maupun kontra. Saya jadi bingung dengan bangsa yang tak
anggap hebat ini dengan SDM yang cerdas semuanya. Kebingungan ini berangkat
dari asumsi pribadi, yang menimbulkan pertanyaan, kenapa mereka pada sibuk urus
koin untuk KPK?? Tapi kenapa mereka tidak lagi menyuarakan kasus-kasus dugaan
korupsi yang tidak kunjung selesai, ada juga masalah HAM yang tak pernah usai
dan masih banyak masalah kesejahteraan masyarakat yang belum tercapai. Sehingga
muncul asumsi bahwa ternyata bangsa kita Indonesia sangat mudah termakan isu
oleh media yang saya rasa sudah kurang objektif dalam memberitakan sesuatu. Dan
lebih miris lagi bahwa orang-orang kita gampang sekali melupakan
kejadian-kejadian penting di masa lalu, hanya karena isu yang terkadang tidak
penting untuk saling diributkan. Tidak salah jika ada kalangan yang menganggap
bahwa tindakan KPK yang ngotot untuk membangun gedung baru dengan cara
mengumpulkan koin dari masyarakat merupakan tindakan yang lebay dan terkesan
ngambek pantaskah lembaga yang dianggap Super Body melakukan hal ini, Padahal
Komisi III DPR RI belum sampai pada kesimpulan menolak pembangunan gedung KPK
tersebut. Selain itu bagaimana nanti proses pertanggung jawaban dari KPK melalui
koin ini, karena hal semacam ini akan mengaburkan dalam hal pertanggungjawaban
kinerja KPK. Sebab, selama ini tidak ada istilah membangun gedung negara dengan
cara saweran dari uang rakyat. Harusnya semua itu dibiayai oleh APBN dan harus
dipertanggungjawabkan, termasuk diaudit oleh BPK.
Beberapa kalangan dalam penggalangan koin untuk KPK
menganggap bahwa ini merupakan kesungguhan masyarakat dalam melakukan
pemberantasan terhadap korupsi. mengumpulkan koin untuk pembangunan gedung baru
KPK merupakan bentuk simpatisan terhadap kiprah lembaga tersebut dalam
memberantas korupsi. Pengumpulan dana itiu dinilai bukan pelanggaran hukum,
sehingga tidak bisa dihalang-halangi. Bahkan, hal ini seharusnya dijadikan
bahan introspeksi bagi DPR yang berupaya menghalangi pencairan anggarannya.
Padahal saya rasa ini semua masalah proses pembahasannya saja di DPR RI,
anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Ahmad
Yani menegaskan bahwa pihaknya tidak berniat untuk menghalang-halangi niat KPK
membangun gedung baru. “Belum dicabutnya tanda bintang, tidak bisa diartikan
Komisi III menolak, tapi lebih pada belum tercapainya titik temu soal program
pembangunan gedung baru KPK tersebut,” ujarnya. Menurut dia, sebagian anggota
Komisi III sudah menyarankan agar KPK memanfaatkan sejumlah gedung milik
pemerintah yang belum dimanfaatkan secara maksimal. Selanjutnya, Ketua Umum
Partai Demokrat Anas Urbaningrum 29/06/2012 dalam Liputan6.com Jakarta, mengatakan bahwa teknik saweran koin atau
uang masyarakat untuk membangun gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang
baru sangatlah tidak baik, lantaran kebutuhan untuk meningkatkan fasilitas
negara seperti Gedung KPK harus menggunakan anggaran negara. “Menurut saya,
kebutuhan KPK apakah gedung apakah fasilitas, apakah peralatan, itu musti
didukung dari alokasi anggaran negara dari APBN. Tidak elok kalau kebutuhan KPK
termasuk dalam hal ini gedung itu pakai teknik saweran. Untuk itu, Anas
menegaskan dirinya telah meminta pimpinan fraksi, dan kepada anggota Fraksi Partai
Demokrat di komisi III DPR RI untuk mendukung KPK agar mendapatkan fasilitas
kerja yang memadai. “Jangankan gedung, seluruh peralatan yang dibutuhkan untuk
peningkatan KPK layak didukung dari alokasi anggaran negara,” tegasnya. “Dan
saya tahu dari Ketua Fraksi dan pimpinan Komisi III dari Fraksi Partai Demokrat
sudah mengambil posisi yang jelas, (yaitu) mendukung alokasi anggaran negara
untuk pembangunan gedung KPK,” pungkasnya.
Terlepas dari polemik pembahasan gedung baru KPK di
DPR RI dan koin untuk pembangunan gedung baru kpk. Isu ini semakin menguatkan
asumsi saya bahwa masyarakat kita masih mudah terprovokasi oleh media dan
begitu mudahnya juga melupakan kasus-kasus besar masa lalu dimana seharusnya
hal itulah yang harusnya kita suarakan terus-menerus demi kebaikan bangsa
kedepannya. Sepintis kita ingat-ingat lagi kebelang, apakah kasus Century sudah
selesai??? Bagaimana dengan pengelolaan dana PNBP sebesar Rp 2,4 triliun???
Bagaimana kasus pelanggaran HAM yang menjadi sorotan internasional?? Apakah
hasil rekomendasi dari KOMNAS HAM terkait dengan pelanggaran HAM sudah
dijalankan oleh pemerintah??? Bagaimana nasib saudara-saudara kita di Papua dan
Ambon?? Belum lagi kesejahteraan masyarakat kita di daerah-daerah perbatasan??
Pertanyaan-pertanyaan tersebut hanya gambaran kecil dari berbagai permasalahan
di bangsa kita tercinta ini, lantas apakah semua kalangan di Indonesia sudah
tidak lagi peduli dengan masalah-masalah itu? Apakah kita harus peduli hanya
dengan isu yang sedang menjadi Trending Topic belaka untuk mengatkat nama
institusi ataupun secara personal, dengan melupakan kasus yang tak pikir lebih
bermanfaat buat bangsa dan masyarakat. Padahal berdasarkan catatan Indonesia
Police Watch (IPW), sedikitnya terdapat 20 kasus besar yang penyelesaiannya
masih terkatung-katung. Menurut Presidium IPW, Neta S Pane, beberapa diantara
kasus itu bahkan mangkrak selama hampir lima tahun. Sedangkan untuk masalah
pelanggaran HAM, Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim menilai, pemerintahan SBY
cenderung mengabaikan pelanggaran HAM yang dari tahun ke tahun tak kunjung
terselesaikan. Padahal, persoalan HAM merupakan salah satu isu yang terus
dipertanyakan dunia internasional. Sejumlah pelanggaran HAM berat masa lalu
yang menjadi sorotan internasional saat ini, seperti peristiwa Talangsari,
peristiwa Wamena-Wasior, peristiwa Trisakti, peristiwa Semanggi I dan II, kasus
penculikan aktivis, pembunuhan aktivis HAM Munir, dan sejumlah kasus
pelanggaran HAM lainnya, menjadi harapan masyarakat akan keseriusan pemerintah
dalam menyelesaikannya.
Koin Untuk KPK Merusak Ketatanegaraan
Anggota Komisi
III DPR RI dari Fraksi PPP, Ahmad Yani berpendapat, sebagai lembaga negara KPK
tidak pantas menggalang opini masyarakat. Dan, pengumpulan koin oleh untuk
pembangunan gedung KPK merupakan tindakan tidak benar.
''Mestinya KPK paham dengan aturan
bahwa sebagai lembaga negara tak boleh ada kegiatan yang dibiayai langsung oleh
swasta atau masyarakat,'' Menurut dia, pengumpulkan koin KPK oleh masyartakat
karena dipicu opini yang sengaja dihembuskan Wakil Ketua KPK, Bambang
Wijoyanto. Praktek pengumpulan koin rawan masalah dan merusak sistem ketatanegaraan
di republik ini.
Tentang tuntutan masyarakat yang menginginkan pembangunan gedung baru KPK salah satunya melihat dari perbandingan struktur KPK di Hongkong yang mendapat fasilitas memadahi. "KPK kita beda dengan KPK Hongkong. KPK kita bisa mensupervisi dengan kepolisian dan kejaksaan, mindset itu yang belum sama,"
Komisi III DPR setuju jika gedung KPK yang ada saat ini memang tidak layak karena sudah over kapasitas. ''Tapi,bukan berarti harus membangun gedung baru. Masih banyak gedung aset negara yang bisa dimanfaatkan,'' ujarnya yang juga mengatakan bahwa Komisi III DPR menuntut kinerja KPK.
Tentang tuntutan masyarakat yang menginginkan pembangunan gedung baru KPK salah satunya melihat dari perbandingan struktur KPK di Hongkong yang mendapat fasilitas memadahi. "KPK kita beda dengan KPK Hongkong. KPK kita bisa mensupervisi dengan kepolisian dan kejaksaan, mindset itu yang belum sama,"
Komisi III DPR setuju jika gedung KPK yang ada saat ini memang tidak layak karena sudah over kapasitas. ''Tapi,bukan berarti harus membangun gedung baru. Masih banyak gedung aset negara yang bisa dimanfaatkan,'' ujarnya yang juga mengatakan bahwa Komisi III DPR menuntut kinerja KPK.
Koin KPK = Suap
Di beberapa daerah Indonesia, termasuk kota Padang, masyarakat sipil
gencar menyelenggarakan saweran koin untuk pembangunan gedung baru KPK.
Sebagaimana ditulis disini, saya menolak dan tidak berminat mengikuti acara
demikian.
Kali
ini, saya mengajukan satu lagi alasan spesifik. Yaitu, bahwa saweran tersebut
merupakan suap secara tidak langsung pada lembaga negara!
Pasal
12B UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas UU No 31 Tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
- Setiap pemberian dalam arti luas (gratifikasi) kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketetentuan sebagai berikut: a. yang nilainya Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah) atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi; b. yang nilainya kurang dari Rp.10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah), pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum.
- Pidana bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun, dan denda paling sedikit Rp.200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp.1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
Penjelasan
Pasal 12B ayat (1):
Yang
dimaksud dengan “gratifikasi” dalam ayat ini adalah pemberian dalam arti luas,
yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa
bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan
cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam
negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan melalui sarana elektronik atau
tanpa sarana elektronik.
Disebut
suap secara tidak langsung karena konteks subjek hukum penerima gratifikasi
suap dalam Pasal 12B UU Tipikor tersebut di atas adalah PNS dan Penyelenggara
Negara. Contoh kongkritnya, jika memberikan uang Rp.10 juta pada pegawai KPK
yang berstatus PNS, itu namanya suap. Atau, memberikan uang Rp.10 juta kepada
Komisioner KPK (penyelenggara negara), itu juga suap.
Sementara,
’saweran koin untuk KPK’ bukan ditujukan pada PNS/staf dan Komisioner KPK
melainkan pada institusi KPK. Namun harus dipahami bahwa penanggung jawab dari
institusi KPK adalah para Komisioner KPK sebagai Pimpinan KPK, yang dalam hal
ini secara tegas (explicit)
telah menyetujui saweran demikian dengan catatan maksimal Rp.10 juta. Nilai
Rp.10 juta ini saja sudah terkesan “menyiasati” Pasal 12B UU Tipikor di atas!
Kemudian,
syarat berikutnya disebut suap secara langsung jika pemberian (gratifikasi)
tersebut berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugas
dari si penerima selaku PNS atau penyelenggara negara.
Sedangkan
’Saweran koin untuk KPK’ tidak berhubungan secara langsung dengan jabatan di
KPK dan tidak berlawanan secara langsung dengan kewajiban atau tugas dari
Komisioner KPK dan staf KPK. Pasalnya, saweran tersebut ditujukan pada
institusi atau bukan pada pribadi staf dan Komisioner KPK.
Namun
demikian, dengan telah disetujuinya saweran tersebut secara tegas (explicit) oleh Komisioner
KPK, maka secara langsung para Komisioner bertanggung jawab secara hukum atas
penerimaan saweran tersebut. Sebab, satu-satunya yang bisa menolak menerima
saweran tersebut adalah para Komisioner KPK. Di titik inilah saweran demikian
dimaksudkan suap secara tidak langsung.
Para
penyumbang memang tidak sedang berkasus dengan KPK. Tetapi siapa bisa menjamin
esok harinya, bulan depan, dan tahun-tahun berikutnya? Institusi se-independen
KPK perlu dijaga dari bias konflik kepentingan apalagi sampai benar-benar
tersandera kepentingan tertentu diluar seharusnya menurut hukum.
Jangankan
terang-terangan menerima uang demikian, menerima bantuan payung saat hujan
saja, secara etis, para Komisioner KPK tersebut harusnya menolak.
Solusinya
adalah seperti disampaikan secara “politis” oleh Anas Urbaningrum sesaat
setelah diperiksa KPK, Rabu (27/6) kemaren. Kata Anas, sumber dana KPK dari
APBN dan ia sudah memerintahkan Fraksi Demokrat menyetujui dana pembangunan
gedung baru KPK
Tidak ada komentar:
Posting Komentar